Gang Sempit di balik romantisme Yogyakarta

Hampir semua yang menyenangkan di kota ini tak pernah jauh dari musik, hiburan kebugaran seperti voli, karambol, badminton dan mungkin sepakbola. Kalau kalian masih berusia belasan atau umurmu baru kepala dua bahkan tiga namun semua orang merasa berumur 20an ketika menghadiri ajang arena tersebut.
Ketika musik adalah alasanmu hidup. Dunia musik adalah dunia yang luas, sebuah semesta yang amat berbeda dari dunia yang kamu tinggali. Sekali kamu tahu caranya bergelut dengan musik, musik akan terus menghiburmu.

Pencarian akan musik biasanya akan membawa kami menyambangi kawan yg memiliki arsip dan pengalaman mengenai musik hingga  toko-toko kaset atau pedagang emperan yg masih bisa kami temui di kota ini. Namun kali ini kami berkesempatan bertemu dan berbincang-bincang dengan kawan-kawan “gang sempit” yang sebentar lagi akan melakukan hajatan perdananya yang bertajuk
“Back to the roots”
Berikut hasil rangkuman perbincangan bareng mereka.

Sandi’ yang lebih akrab kita sapa santot selaku penanggung jawab gelaran
“Back to the roots” Disela-sela pekerjaanya sebagai penjaga proyek bangunan hotel yang terkesan malah terlihat seperti wahana rumah hantu, ya’ karena sudah cukup lama proyek ini tak kunjung kelar mungkin imbas lesunya pariwisata Jogja karena kerap di kritik hla wong tanpa di kritik sebenarnya tata kelola pariwisata Jogja itu sudah ambyar. Romantisasi tentang Jogja yang digaungkan di banyak media sosial berbanding terbalik dengan kondisi kota dan warga kotanya.
“Pariwisata Membunuh Kota”

Sandi menuturkan Dari tahun 2015 “Gang Sempit” sudah terbentuk mulanya kita masih tergabung bersama kawan-kawan WTC namun seiring berjalannya waktu WTC vakum dan kami resmi mendirikan komunitas Gang Sempit di perkampungan sisi barat Pakualaman. Dulu kami hanya segerombolan anak muda yg kerjanya nabraki Lahan parkir, keluar masuk penjara dan acap kali membuat onar sehingga selalu berlabel buruk dalam bermasyarakat.

Disela sela perbincangan kami dengan santot, Hanif/Gaplek memotong pembicaraan’ Hanif menuturkan bahwa pada saat itu Gang Sempit juga tidak melulu melakukan hal-hal yang berbau negatif kawan-kawan 
Gang Sempit juga sering bergerak di ranah sosial seperti membantu warga yg terdampak bencana alam dan movement sosial lainnya.

Santot kembali bercerita : Namun, Lama kelamaan kami sampai di titik yang lebih bijak dalam berkomunitas dan menyikapi persoalan-persoalan yang Kami hadapi dengan lebih dewasa dan bijaksana.
Sehingga kini “Gang Sempit” telah bertransformasi dan berhasil merubah stigma yang dulunya dicap sebagai tekyan tukang ribut menjadi komunitas yang memiliki gagasan-gagasan yang berguna bagi warga sekitar, teman dan keluarga mereka. namun ketika kami di usik ataupun  diganggu pasti tetap akan kita tabrak “pokokmen ojo ngalangi dalanku” tutur santot dengan nada geram.

Nola selaku ketua panitia menuturkan bahwa Event Back to the roots adalah sebuah awalan dan pembuktian bahwa kami yang dianggap tukang bikin onar dan sering disepelekan oleh orang-orang. Sehingga event ini menjadi sebuah tamparan keras untuk mereka. bahwa kami sanggup dan bisa melakukan dan mewujudkan gagasan-gagasan kami yg berguna dan menghibur bagi khalayak ramai serta menjadi wadah untuk band-band kota Jogja pada umumnya.

Setelah habis beberap botol Aqua tanpa label dengan tambahan madu sachet membuat kami semakin pusing layaknya kaum pekerja yg selalu pusing dikejar-kejar angsuran namun gaji tak kunjung naik.
Sekian.

Leave a comment